Mereka bilang sudah saatnya kita turun. Sudah saatnya roda
berputar. Usahanya sudah tidak seperti yang dulu-dulu lagi.
Mereka bilang ini saatnya memberi kesempatan pada yang lain,
saatnya mereka menjadi pahlawan.
Yang mereka tidak tahu adalah usaha kami, beban di punggung
kami, dan janji-janji yang menunggu untuk ditepati. Mereka tidak tahu bahwa
untuk menjadi pahlawan, ada pihak yang dijatuhkan. Pihak yang dalam hal ini
bukan antagonis (tapi tak ada yang tahu karena well, proses persiapannya tidak
disorot kamera).
We deserved this.
They didn’t see it. They only see what they wanted to see –
a bunch of people that didn’t even try, but randomly got the ability to be a
winner.
We’re not. There’s so little talent involved here. It’s pure
hard work, our work.
Mungkin doa kita masih kurang, mungkin kita masuk pada tahun
yang salah. But nobody can say we didn’t work hard. Nobody can say the
competition was at its fairest, and that we lost by objectivity. Nobody can say
we didn’t take this seriously, and that we didn't try as hard as we used to be.
That crying when we walked out of the door, it was not of regret, but rather, of
disappointment.
Tapi nggak apa-apa. We’re the ones who dare to dream. We
have visions, and we chase it. We didn’t back down even though we know it’s gonna
be hard.
Di sisi manisnya, kita saling mengenal.
Menghabiskan malam-malam bersama, satu potong ayam dan susu
milo.
Mengucap doa setelahnya, diterangi cahaya senter yang
melukis bayangan lingkaran tangan raksasa yang naik-turun seiring irama di atap
yang setengahnya berlubang.
Bermimpi di bawah langit malam, membentuk bayangan dari tangan-tangan yang lelah di langit-langit istana, tertawa
Berjalan di bawah hujan untuk sembahyang selepas matahari
terbenam dan bersujud kepada-Nya, berdoa agar semua tak sia-sia.
Tak ada yang sia-sia.
From it we learn. My God, do we learn.
No comments:
Post a Comment