Berdiri di bawah semesta-Nya
Dengan tetesan air hujan yang perlahan berubah menjadi guyuran
Air langit merasuk ke jahitan benang katun yang disulam rapih pada ujung-ujungnya
Dinginnya menembus kulit menuju daging kemudian ke tulang
Alam mendadak sepi
Manusia-manusia yang riuh rendah berlomba mendominasi udara sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing
Ke kendaraan beroda empat mereka pergi
Tergesa tiba di rumah untuk menapak ke gelembung zona nyaman
Aman dari seribu marabahaya yang dapat mencelakai nyawa
Ke bawah atap emperan sisanya berlindung
Menunggu dengan hati tak sabar dan wajah ditekuk karena sebentar lagi pukul tiga sore
Waktunya menjemput si buah hati
Aku berdiri di bawah guyuran hujan dengan mata tertutup hati terbuka
Kurasakan jiwaku mulai melayang – kakiku tidak lagi menjejak tanah
Kurasakan setiap tetes air yang mendarat di tubuh
Kurasakan dengan penghayatan bagaimana tetes demi tetes menggelincir ke bagian tubuh yang lain, lalu berakhir jatuh di tanah, bersatu membentuk genangan pada cekungan dangkal
Kuserapi dalam-dalam nikmat Tuhan yang belum tentu datang esok hari, berusaha mengingat-ingat rasanya hujan sebelum ditarik kembali oleh Sang Penguasa
Dingin memang – tetapi kurasakan kehangatan menyelimuti jiwa
Kelegaan yang kurasakan karena bisa menangis lagi – setelah bertahun-tahun hidup dalam kedataran emosi dan hati mati rasa
Airmata yang bercampur dengan air hujan
Derasnya sama-sama, satu dari langit Sang Pencipta, satunya dari hati paling dalam yang telah lama memenjarakan airmata – sangat lama hingga aku lupa bagaimana rasanya menangis, lupa rasa tercekik di tenggorokan yang kemudian disusul dengan dorongan mahadahsyat airmata. Lupa bahwa pernah suatu masa aku mengeluarkan cairan asin dari inderaku, mengalir dengan bebas di kedua pipi
“Gadis kecil, berlindunglah!”
“Hey, kamu bisa sakit”
“Hati-hati, anginnya kencang” peringat mereka
Aku bukan pengendali angin
Tidak pernah aku menjadi seseorang tahan banting, imun terhadap sakit
Tapi aku tak peduli
Hujan – seperti segala perkara di dunia fana ini – kontradiktif bukan?
Memiliki sisi yang bukan satu
Yang baik untuk satu merupakan tak baik untuk yang lain
Berita baik untuk ular merupakan berita buruk untuk tikus
Aku yang menjalankan aku
Tidak semua saran baik untukku hanya karena itu baik untuk sebagian orang
Mengapa tidak membiarkan insting membimbingku dalam ketidakpastian? Aku sadar hati lebih tahu dari yang aku bersedia akui, hati lebih bisa dipercaya untuk menuntunku dalam gelap
Hati bisa membedakan benar-salah
Tetapi kuacuhkan ia dan dengan rela kuserahkan ragaku untuk dituntun orang yang sama butanya denganku
Jadi mengapa tidak kulakukan – berdiri di bawah hujan – jika hujan ini membuatku hidup?
Membuatku kembali dapat merasakan – tidakkah dingin sekalipun lebih baik daripada tidak merasa apapun?
Membuatku menjadi “manusia” kembali, bukan sebuah mesin yang terus melakukan rutinitas tanpa arti
Mengapa orang merasa lebih baik hidup tetapi mati – dibandingkan mati tetapi pernah hidup?
No comments:
Post a Comment