“Her” adalah satu dari
sedikit film yang memiliki tempat spesial di hati saya – sebuah karya seni bergenre science-fiction dan romance yang sangat lembut dan jujur
dalam penuturannya. Menurut saya, “Her” adalah film yang mendekati sempurna
dalam segala aspeknya. Dari segi teknis, “Her” menggarap lighting, grading, dan desain produksi secara efisien dengan
memberikan atmosfer hangat dan familiar. Hal ini didukung juga oleh arahan dari
Spike Jonze, sinematografi yang indah, penulisan naskah dan dialog yang pintar namun
tetap terasa nyata, akting yang luar biasa dari Joaquin Phoenix, serta musik
dan scoring yang membangun suasana
emosi tanpa memanipulasi penonton. Hasilnya adalah sebuah story-telling yang brilian dan pengalaman sinematik yang tak
terlupakan. Pada dasarnya, “Her” adalah sebuah kisah cinta antara manusia dan Artificial Intelligence (AI) dengan
setting futuristik. Namun tidak seperti film bergenre sci-fi lainnya yang
menggunakan fokus utama teknologi dan CGI sebagai world-building (sehingga film terkesan dingin dan asing), “Her”
menawarkan masa depan dan teknologi hanya sebagai latar yang masuk akal dan
familiar. “Her” berfokus pada ideas
sebagai material utamanya – bermain dengan ide-ide eksistensial dan filosofis
yang mungkin muncul di titik-titik tertentu dalam kehidupan manusia. “Her”
mengajukan banyak sekali pertanyaan mengenai tempat manusia di alam semesta,
arah pergerakan masyarakat kita, arti menjadi seorang manusia, arti mencintai
seseorang, dan makna yang diberikan cinta bagi kehidupan manusia. Film ini juga
mengimplikasikan pertanyaan-pertanyaan lain, seperti: Apa yang membuat
kehidupan manusia nyata? Manusia berpikir, merasakan sesuatu, dan berperilaku
berdasarkan sirkuit otak tertentu, sama halnya dengan AI yang berperilaku
sesuai pemrogramannya. Jadi apakah emosi kita nyata, atau hanya hasil dari
pemrograman seperti halnya AI? Apa yang membuat sebuah hubungan nyata? Apa
sebenarnya arti mencintai seseorang dan apa yang diberikan cinta bagi
kehidupan? Apakah kapasitas untuk mencintai cukup untuk membuat seseorang
hidup? Apakah bentuk cinta AI, dalam film ini Samantha, superfisial dan
terprogram, atau merupakan kapasitas cinta tertinggi yang transendental dan
belum bisa dicapai manusia? Film ini menantang kita untuk melihat diri dan
dunia dengan cara yang berbeda.
Isu eksistensial yang tidak
dapat dipisahkan dari pikiran manusia dalam berbagai zaman adalah pertanyaan
mengenai tujuan dan makna kehidupan manusia. Dalam “Her”, hal ini merupakan
sebuah pertanyaan utama bagi protagonis kita, Theodore. Sejak awal, Theodore
ditunjukkan sebagai seseorang yang melankolis, pasif, dan terisolasi dari
interaksi manusia. Theodore tidak sepenuhnya hidup dalam dunia dan memilih
untuk memenuhi kebutuhan sosialnya melalui ruang virtual. Tanpa adanya hubungan
yang dianggap berarti, Theodore mulai mempertanyakan eksistensinya karena ia
menyadari bahwa tujuan dan makna hidup manusia adalah untuk mencintai.
Pergulatan internal Theodore bisa disimpulkan dari teknik filming yang memotret Theodore sebagai satu-satunya objek dalam frame, penggunaan blur yang memisahkan
Theodore dari lingkungannya, dan saliensi penampilan Theodore dari orang-orang
di sekitarnya. Ketidakbermaknaan hidup yang dirasakannya ini disebabkan oleh hubungannya
yang retak dengan istrinya. Selama film berjalan, terdapat banyak flashback yang menggambarkan pikiran
Theodore yang terjebak dalam hubungan yang telah usai dengan orang yang dicintainya.
Satu-satunya hal yang memberikan makna bagi hidupnya adalah hubungan tersebut,
yang walaupun telah hancur tetap ia pertahankan untuk terus hidup (dengan
menunda menandatangani berkas perceraian).
Hal tersebut berubah ketika ia bertemu dengan Samantha, Operating System (OS) yang dirancang
untuk menjadi asisten pribadi yang sesuai dengan kepribadian dan preferensi
Theodore. Theodore jatuh cinta pada Samantha, dan terbentuklah sebuah hubungan
yang berarti bagi keduanya. Theodore mulai hidup sepenuhnya dan merasakan lagi
kebahagiaan. Theodore puas akan hubungannya yang dalam dan nyata dengan
Samantha. Segala keterbatasan fisik mereka atasi dengan mengembangkan strategi
agar dapat merasa bersatu walaupun berbeda dimensi. Titik ini merupakan momen
yang nyaman bagi Theodore, karena dengan adanya hubungan, ia dapat memvalidasi
kembali eksistensi dirinya. Setelah beberapa lama, Theodore mulai mempertanyakan
kodrat dari hubungan mereka. Samantha dan Theodore merasakan adanya konflik
internal yang berakar dari tidak adanya koneksi fisik yang nyata. Theodore
masih mendapati dirinya berkelut dengan cintanya di masa lalu (ditunjukkan
melalui flashback) yang menandakan
keinginan Theodore akan hubungan manusia. Samantha berusaha memecahkan konflik
ini dengan mewujudkan dirinya di dunia fisik melalui raga orang lain, tetapi
hal ini tidak berhasil karena Theodore semakin merasakan kepalsuan dari
hubungan mereka. Hubungan Samantha dan Theodore berakhir ketika Samantha,
sebagai AI yang memiliki kapasitas jauh lebih besar daripada manusia,
berevolusi dengan cepat dan mengembangkan konsep cinta yang sangat jauh berbeda
dari manusia. Theodore mengalami kesulitan dalam menerima hal ini dan jarak
yang ada antara Theodore dan Samantha semakin besar. Di sini, pertanyaan
mengenai ketulusan cinta Samantha terhadap Theodore diimplikasikan kepada
penonton, namun pada akhirnya, hal tersebut tidaklah penting. Hal yang
terpenting adalah Theodore membuktikan kapasitasnya untuk mencintai seseorang
yang baru dan merasakan beragam emosi yang tidak ia prediksi sebelumnya. Theodore
juga mendapatkan insight untuk
mengevaluasi kembali hubungannya dengan dirinya, Samantha, dan Catherine. Insight ini diperoleh dengan bantuan Amy
yang dengan bijak mengatakan:
“I
can overthink everything and find a million ways to doubt myself… And I’ve just
come to realize that we’re only here briefly. And while I’m here, I want to
allow myself… joy.”
Dalam
“Her”, masa depan digambarkan dengan teknologi sebagai alat yang menguntungkan
dan menghubungkan manusia, tetapi juga memecah dan mengisolasi individu dari
dunianya (selama film berlangsung, diperlihatkan keadaan manusia yang semakin
individualistis dan membangun hubungan erat dengan teknologi). Meski begitu,
manusia masih memiliki keinginan akan hubungan yang dalam dan tulus dengan
orang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa interaksi dan membuka diri adalah
proses yang menantang dan sulit bagi semua orang. Perkembangan teknologi
membuat kita bertahan dalam zona nyaman dan memisahkan diri, memilih untuk
melibatkan diri dan berinteraksi dalam ruang metafisik. Hal ini tentu saja futile karena manusia bukanlah makhluk
metafisik, kita tidak dapat menembus dimensi-dimensi linear seperti waktu dan
tempat, dan kita tidak dapat melarikan diri dari kematian. Adanya realisasi
terhadap hal ini menyebabkan manusia, meskipun berkecenderungan untuk bertahan
dalam zona nyaman, tidak dapat berhenti mencari tujuan hidup dan memiliki
keinginan untuk benar-benar hidup. Seperti kebanyakan dari kita, Theodore
sangat terserap dalam ide hubungan romantis sebagai satu-satunya jawaban untuk
mendapatkan tujuan dan makna hidup hingga ia melupakan aspek lain dalam
hidupnya. Pada akhirnya, Theodore berhasil menemukan tujuan hidup dalam dirinya
bahkan ketika tidak ada yang mencintainya, karena ia mulai menghargai
nilai-nilai hubungan non-romantis dan menemukan dirinya. Ia belajar untuk
melepaskan masa lalu, tidak lagi terikat dengan mencintai Catherine atau
Samantha sebagai satu-satunya jalan mendapatkan tujuan hidup. Makna hidupnya
kembali ketika ia mendapatkan dan mewujudkan aspirasi sebagai penulis dan
menghargai betapa indah hubungan pertemanannya dengan orang-orang dalam
hidupnya, terutama Amy.
Pada akhirnya, kesalahan terbesar Theodore
bukanlah membiarkan dirinya jatuh cinta kepada makhluk artifisial, bukan juga
menyerah pada rintangan cintanya dengan Catherine. Kesalahan terbesar Theodore
adalah kegagalannya dalam menyadari bahwa kesepian adalah pengalaman bersama
manusia. Theodore terjebak dalam romantisasi masa lalu hingga melupakan bahwa
kesepian adalah bagian dari kehidupan. Character
arc Theodore didapat ketika pada akhir film ia sadar bahwa mencintai memang
sebuah proses yang sulit, tetapi cinta harus diperjuangkan ketika kita
merasakannya. Namun hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari realisasi lain yang
sama pentingnya: bahwa kita tidak bisa menjadikan sesuatu yang sangat rapuh
seperti cinta sebagai satu-satunya penentu harga diri dan makna kehidupan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
This is written for an assignment in my social psychology class, but I did put a lot of work and thought into this because Her is a meaningful film for me, and I wanted to do this film justice by writing a serious review. Initially, this review was twice as long as it is now, but I had to cut out a lot of parts to not exceed the maximum limit of page allowed (this is still twice as long as it should be but I managed to cram it into two pages of size 11, single-spaced, narrowest margin possible format). For this post, I cut out mandatory explanations of social psychology theories, so this is my pure take on the film itself.